Hari-hari belakangan, media sesak dengan ancaman terjadinya Perang Dunia 3. Timur Tengah semakin memanas dan terakhir Amerika Serikat turun gelanggang menyerang Iran.

Kejadian ini seakan-akan menggambarkan bahwa saat ini tidak ada yang peduli dengan malapetaka sejarah Perang Dunia 1 dan 2. Padahal, jika kita tidak mampu menavigasikan sejarah, mimpi buruk tinggal menghitung waktu untuk menjadi kenyataan. 

Ketegangan geopolitik mengingatkan kita pada lembar-lembar kelam abad ke-20. Saat peradaban didorong menuju titik nadir dunia distopia. Kini, ancaman Perang Dunia 3 mengintai dengan rupa yang tidak berubah; arogansi, kekuasaan, ketakutan, dan kegagalan kolektif.

Saya tidak berniat memberi kuliah umum tentang sejarah perang. Atau ramalan usang ala fyp TikTok. Ini hanya upaya untuk menyusun fragmen yang menggerakan roda sejarah menuju kehancuran atau arah sebaliknya. 

Kita sepertinya perlu membongkar ulang mesin usang sejarah yang remuk. Menelaah ketegangan yang menjadi konflik, kecurigaan bertransformasi menjadi benci, serta rivalitas menyublim menjadi pemusnahan massal manusia. Persis kata Foucault tentang genealogi kekuasaan.

Anatomi kehancuran Perang Dunia 1 dan 2

Percaturan kekuasaan dunia mencapai poros penting pertamanya saat Perang Dunia 1 terpicu. Pembunuhan Archduke Franz Ferdinand dari Austria-Hungaria di Sarajevo pada 28 Juni 1914 bukanlah sebab utama. 

Pembunuhan itu dilakukan Gavrilo Princip, seorang nasionalis Bosnia. Ini menjadi pemantik kobaran api di peradaban manusia modern selepas Revolusi Industri 2.0.

Bagaimana lembar sejarah setelahnya dicatat dengan darah yang tumpah. Persis yang terjadi dari rentetan adu rudal Iran, Israel, Amerika, dan berpotensi memicu Perang Dunia 3.

Dulu, para pemimpin Eropa bergandeng tangan menarik peradaban selangkah lebih dekat menuju jurang kehancuran. Dunia saat ini tiada berbeda.

Pendidikan aristokratik berkelindan dengan semangat memproduksi senjata secara massal dan melahirkan ego nasional yang hilang arah. Sistem aliansi militer yang kaku dan berwatak bengis tidak mampu membendung konsekuensi masa depan yang suram. Sesuram kabar Perang Dunia 3 yang bisa jadi ada di depan mata. 

Inilah bagaimana wajah abad 20 diatur dan dikendalikan dengan pertalian yang melahirkan jiwa-jiwa yang tamak dalam bingkai kekerasan perang.

Segala upaya menciptakan perdamaian terlihat manis di permukaan. Perang Dunia 1 tetap menyisakan residu yang tak pernah benar-benar selesai bahkan setelah Perjanjian Versailles selesai kena paraf. Ironi tragis sejarah membuka babak baru yang semakin mendekatkan dunia pada kehancuran yang lebih lekat.

Peradaban modern yang rapuh dan trigger Perang Dunia 3

Ironi tragis sejarah Perjanjian Versailles menciptakan kondisi yang jauh dari angan-angan. Kondisi ekonomi selepas Perang Dunia 1 menjadi bahan bakar tambahan untuk membuat api lebih cepat membakar peradaban modern yang rapuh. 

Ideologi totaliter lahir dari rahim trauma. Ia berkembang menjadi kebencian serta rasa dendam nasional untuk membuka jalan bagi ideologi fasis berwajah bengis nan remuk. 

Para negara dalam “barisan sakit hati” menjadi aktor utama menciptakan aliansi agresif yang haus perang. Gagalnya semua cita-cita perdamaian sebab digempur habis perkawinan brutal antara fasisme dan nazisme. Semenjak ekspansi Jerman ke Polandia pada 1 September 1939, hari-hari setelahnya berisi awan hitam peperangan.

Seketika mimpi dan segala angan baik selepas Perang Dunia 1 hancur berkeping. Tampak serupa belanga terbanting dan puingnya berserakan yang tak pernah benar-benar dikemas hingga saat ini. 

Perang Dunia 2 memang telah usai, tapi masih menyimpan watak tragis sejarah. Misalnya Amerika yang memiliki jiwa gila perang hingga detik ini, persis yang dikatakan Noam Chomsky. Watak bengis yang paling paripurna untuk mewujudkan Perang Dunia 3.

Skenario menghancurkan peradaban adalah warisan yang tak pernah usai

Gelanggang perang akhir-akhir ini muncul lebih dekat dangan kehidupan kita. Segala keributan yang terjadi di Iran dan Israel hanya berjarak sejengkal dari mata. Melalui media sosial dan saluran media lain, embrio Perang Dunia 3 hanya sekelebatan jari menggulir video TikTok.

Adu kekuatan persenjataan milik Iran dan Israel menjadi episentrum potensial menuju konflik yang lebih panjang dari dongeng generasi emas Indonesia 2045. Eskalasi Perang Dunia 3 dan konsekuensi masa depan yang tidak pernah terbayang dalam peradaban manusia. 

Mengutip Albert Einstein yang berseliweran di internet bahwa Perang Dunia 4 nanti bersenjata tombak, pedang, dan batu. Sebuah nubuat yang menandakan Perang Dunia 3 menjadi titik balik peradaban yang mundur ke zaman batu akibat ancaman nuklir dan senjata pemusnah massal.

Konflik Iran melawan Israel mengundang ketakutan kolektif terhadap ancaman Perang Dunia 3 saat negara adidaya turut dalam orkestra kekerasan perang. Sampai saya menuliskan ini, Amerika yang berada di pihak Israel mengumumkan turut dalam ontran-ontran sejak menyerang 3 fasilitas nuklir milik Iran. 

Tidak perlu menunggu hari. Iran membalas Amerika dengan serangan yang menghantam pangkalan militer Amerika di Qatar.

Jika kondisi semakin berlarut, semakin susah kita menepis ancaman Perang Dunia 3. Saat ruang-ruang diplomasi justru semakin memperbesar dendam dan menyenggol ego nasionalis salah satu negara, kita makin dekat dengan hari-hari terakhir peradaban modern yang rapuh. Dan kita, para sisifus yang dikutuk menjadi WNI akan memiliki tekanan ganda dari segala sisi.

Trauma dan ketakutan kolektif: Mengapa manusia menjadi maniak perang dan tidak pernah belajar dari kesalahan?

Memori masa lalu selalu menjadi momok kekerasan yang memengaruhi tindakan masa kini. Bukan hanya perang, kekerasan yang skalanya lebih kecil pun bertindak atas nalar “luka masa lalu” yang mungkin tidak lagi relevan dengan hari ini. Dendam selalu menjadi mimpi buruk yang jaraknya lebih dekat dengan nadi kekerasan.

Di tengah riuhnya dunia digital dan artificial superintelligence yang berlari, kita nyatanya tidak pernah benar-benar tentram dan damai. Semakin nyata bahwa manusia tidak pernah benar-benar bisa memperbaiki diri dari kesalahan masa lalu. 

Ratusan juta buku sejarah dimakan lapuk dan rayap di perpustakaan yang sunyi. Apakah rayap akan lebih pintar menghadapi gerak sejarah yang memiliki pola yang sama dibanding manusia? Saya rasa iya.

Ancaman Perang Dunia 3 bukanlah sebuah kepastian absolut. Namun, bayang-bayangnya terasa semakin nyata seiring meningkatnya eskalasi unjuk kekuatan militer. Dan berbanding terbalik dengan kapasitas untuk mengelola konflik.

Dan tugas berat ada pada pundak generasi kita yang lebih banyak memiliki keberanian dan nalar menolak perang dan kekerasan. Dunia yang makin absurd, biarkan sisifus dalam diri kita bahagia. 

Meski makin hari, keyakinan kebahagian makin menipis lembar demi lembar. Setidaknya kita mampu memberi makna dan menemukan kebahagiaan saat mewariskan cinta kasih, mengasihi sesama, dan menjaga alam semesta.

Source: mojok.co

Penulis: Deby Hermawan